the red knight

the red knight

Senin, 04 Juli 2011

Membangun Generasi Muda yang Progresif, Agamis, dan Nasionalis


BAB  I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Sejak akhir dekade 1990-an, telah terjadi berbagai fenomena yang mendorong perubahan dalam seluruh aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara, termasuk dalam hal tata kepemerintahan. Globalisasi yang turut membawa konsep-konsep baru dalam pola hubungan negara (state) dan masyarakat (society) menjadi salah satu faktor pendorong utama bagi terjadinya demokratisasi di sejumlah negara, khususnya di negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Secara demikian, negara tidak lagi dipandang sebagai organisasi yang harus mampu memenuhi semua kebutuhan masyarakatnya. Pandangan terhadap negara mulai bergeser dengan menempatkan negara menjadi suatu otoritas yang berperan sebagai fasilitator bagi berbagai kepentingan di masyarakat. Konsep ini menempatkan masyarakat dalam posisi yang sejajar dalam konteks hubungan negara dan masyarakat.
Pergeseran konsep government menjadi governance seolah mendapatkan bukti empirik dengan gagalnya konsep pembangunan yang sentralistis dengan pendekatan top-down planning. Sebagai antitesis, berkembanglah kajian-kajian mengenai desentralisasi yang kemudian dikaitkan dengan pendekatan partisipatif dan bottom-up planning dalam pelaksanaan pembangunan. Demokratisasi dalam level lokal inilah yang dalam perkembangannya kemudian mendorong perubahan pola penyelenggaraan pemerintahan di daerah menjadi lebih desentralistis.
 Kebijakan desentralisasi yang diterapkan dalam kerangka governance mensyaratkan adanya partisipasi seluruh stakeholders dalam proses pembangunan daerah. Melalui pembangunan daerah yang partisipatif, diharapkan perencanaan pembangunan daerah dapat mengakomodasi sebanyak mungkin aspirasi masyarakat, sehingga hasil perencanaan tersebut dapat sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, masyarakat tidak hanya terlibat pada saat pelaksanaan suatu program, tetapi sejak tahap awal perumusan dan perencanaan program-program tersebut.
Berdasar uraian di atas, generasi muda merupakan salah satu komponen stakeholders yang perlu dilibatkan dalam pembangunan daerah, karena memiliki sumber daya yang potensial untuk mendukung keberhasilan pembangunan daerah. Secara konseptual, definisi mengenai generasi muda dapat dilihat dari berbagai aspek, seperti dari aspek biologi; aspek budaya; aspek hukum dan politik; serta aspek psikologis. Pada dasarnya, generasi muda adalah manusia yang berusia antara lima belas hingga tiga puluh tahun. Demikian pula dalam hal semangat dan idealisme, generasi muda dikenal sebagai kelompok masyarakat yang memiliki kreativitas dan gagasan-gagasan baru dalam memandang suatu permasalahan.
Akan tetapi, potensi ini seringkali belum dimanfaatkan secara optimal, bahkan pelibatan generasi muda pun cenderung dimobilisasi untuk kepentingan elit tertentu. Padahal, dari segi kuantitas, generasi muda sebenarnya merupakan satu representasi dari kekuatan politik tersendiri yang mampu mempengaruhi pembuatan kebijakan. Dilihat dari segi kebutuhan, generasi muda adalah sumber daya manusia bagi masa yang akan datang. Sebagai potensi daerah dan bangsa, generasi muda perlu dipersiapkan agar berpartisipasi aktif dan dapat memberikan sumbangan yang positif dalam berbagai proses pembangunan daerah atau nasional. Generasi muda tidak hanya dijadikan obyek, tetapi juga ditempatkan sebagai subyek dalam pembangunan.
Dalam upaya mempersiapkan, membangun dan memberdayakan generasi muda agar mampu berperan serta sebagai pelaku-pelaku aktif pembangunan, maka akan dihadapkan pada berbagai permasalahan dan tantangan, misalnya dengan munculnya berbagai permasalahan sosial yang melibatkan atau dilakukan generasi muda seperti tawuran dan kriminalitas lain, penyalahgunaan narkoba dan zat adiktiflain, minuman keras, penyebaran penyakit HIV/Aids dan penyakit menular, penyaluran aspirasi dan partisipasi, serta apresiasi terhadap kalangan generasi muda. Apabila permasalahan tersebut tidak memperoleh perhatian atau penanganan yang sesuai dengan konsepsinya, maka dikhawatirkan akan menimbulkan dampak yang luas dan mengganggu kesinambungan, kestabilan dalam proses pembangunan.
Permasalahan lainnya terkait dengan generasi muda adalah ketahanan budaya dan kepribadian --khususnya Sunda, Jawa Barat-- di kalangan generasi muda yang semakin luntur, yang disebabkan cepatnya perkembangan dan kemajuan teknologi komunikasi, derasnya arus informasi global yang berdampak pada penetrasi budaya asing. Hal ini mempengaruhi pola pikir, sikap, dan perilaku generasi muda di Jawa Barat. Persoalan tersebut dapat dilihat dari kurang berkembangnya kemandirian, kreativitas, serta produktivitas dikalangan generasi muda, sehingga generasi muda kurang dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan yang sesuai dengan karakter daerah.
Permasalahan yang tidak kalah pentingnya adalah era globalisasi yang terjadi diberbagai aspek kehidupan yang sangat mempengaruhi daya saing generasi muda. Sehingga generasi muda baik langsung maupun tidak langsung dituntut untuk mempunyai keterampilan, baik bersifat keterampilan praktis maupun keterampilan yang menggunakan teknologi tinggi untuk mampu bersaing dalam menciptakan lapangan kerja atau mengembangkan jenis pekerjaan yang sedang dijalaninya.
Cepat atau lambat, hal ini akan mengancam upaya pembentukan moral dan agama yang kuat di kalangan generasi muda. Tantangan lain adalah belum terumuskannya kebijakan pembangunan bidang pemuda secara serasi, menyeluruh, terintegrasi dan terkoordinasi antara kebijakan di tingkat nasional dengan kebijakan di tingkat daerah.

B.       Rumusan Masalah
1.      bagaimana membangun Generasi Muda yang Progresif, Agamis dan Nasionalis?






BAB  II
PEMBAHASAN

A.      Generasi Muda yang Progresif
Generasi muda memiliki kecenderungan untuk bersikap antusias dalam menghadapi berbagai isu, baik yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan kehidupan mereka sehari-hari. Selain itu, idealisme yang terkandung dalam jiwa dan pikiran generasi muda memungkinkan generasi muda untuk memainkan peranan penting dalam kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Karena sifatnya ini, generasi muda menjadi kelompok yang potensial untuk mendukung pembangunan.
Dengan demikian, generasi muda perlu dilibatkan dalam setiap perencanaan pembangunan, sehingga pelayanan dapat lebih disesuaikan dengan sasaran yang ingin dicapai. Namun demikian, progresifitas generasi muda tidak hanya penting dalam kerangka pemberdayaan generasi muda, tapi juga memberikan kontribusi bagi penyiapan generasi selanjutnya, serta regenerasi kepemimpinan di masa mendatang.
Generasi muda yang progresif di sisi lain di tandai dengan generasi muda yang mau untuk berfikir diluar “pakem” yang telah membudaya (think out the box), guna “menciptakan” atau sekedar eksplorasi guna menemukan hal-hal baru yang berguna bagi kehidupan umat manusia. Dengan kata lain, generasi muda yang progresif adalah generasi muda yang mampu dan dapat berfikir kritis dalam menghadapi realitas sosial politik yang sedang terjadi.
Peran generasi muda juga menjadi penting bagi masa depan daerah-daerah yang pernah, misalnya, mengalami konflik. Sifat menghargai dan keterbukaan terhadap berbagai ide dan budaya dapat menjembatani beragam etnis, ras, kelompok-kelompok sosial dan politik. Dengan memanfaatkan potensi ini, diharapkan ada sebuah peluang untuk menciptakan masa depan yang lebih damai bagi generasi berikutnya.
Dalam kaitannya dengan progresifitas generasi muda, peran generasi muda seyogyanya didorong melalui 5 (lima) strategi berikut, yaitu:
Pertama, mendorong pelibatan generasi muda dalam proses pengambilan keputusan:
Generasi muda hendaknya ditempatkan dan berusaha menempatkan diri dalam posisi strategis agar aspirasinya didengar khususnya dalam pembuatan kebijakan yang secara langsung terkait dengan kebutuhannya. Generasi muda perlu diberi ruang untuk mengekspresikan pandangan mereka dan berkontribusi bagi pembuatan kebijakan-kebijakan yang secara tidak langsung terkait dengan masalah kepemudaan.
Kedua, mengembangkan kemampuan kewirausahaan:
Semangat kewirausahaan (enterpreunerships) dapat mendorong generasi muda untuk mampu bertahan manakala memasuki dunia usaha. Secara tidak langsung, upaya ini dapat membantu meminimalkan tingkat pengangguran bagi daerah dan terutama sekali bagi bangsa.
Ketiga, memaksimalkan peran generasi muda dalam mengatasi hambatan-hambatan budaya, etnis, dan ras:
Melalui komunikasi antargenerasi dari beragam latarbelakang budaya, etnis, dan ras, generasi muda dapat membangun jaringan (networking) untuk saling tukar-menukar informasi dan kerjasama antarbudaya. Pengenalan budaya ini dapat membantu terwujudnya saling pengertian antar generasi muda.
Keempat, memberdayakan generasi muda dalam pembangunan:
Generasi muda merupakan salah satu unsur penting yang menunjang pelaksanaan pembangunan sehingga perlu ada upaya pemberdayaan yang terencana dan komprehensif untuk memaksimalkan kemampuan generasi muda.
Kelima, menempatkan generasi muda sebagai visi pembangunan:
Karena generasi muda merupakan aktor penting sekaligus penerima manfaat dari pelaksanaan pembangunan, maka perlu ada upaya untuk merancang pelibatan generasi muda dalam sasaran dan penyusunan program-program pembangunan. Secara demikian, progresifitas generasi muda akan kentara secara nyata.

B.       Generasi Muda yang Agamis dan Berbudaya
Generasi muda yang agamis ditandai dengan laku dan tindak dari pemuda yang dilandasi oleh moral-moral normatif agama. Pada intinya, setiap agama mengajarkan keselarasan guna menuju kehidupan yang lebih baik. Yang membedakan diantara agama-agama tersebut hanyalah cara untuk menggapai keselarasan kebahagaiaan tersebut.
Generasi muda yang agamis menurut Azyumardi Azra dapat dilihat dari tiga kategori, pertama, generasi muda yang memiliki visi, yakni generasi muda yang mau membangun tradisi intelektual dan wacana pemikiran melalui intelectual enlightement (pencerahan intelektual) dan intelectual enrichment (pengkayaan intelektual). Strategi pendekatan yang digunakan ialah melalui pemaksimalan potensi kesadaran dan penyadaran individu yang memungkinkan terciptanya komunitas ilmiah.
Kedua, generasi muda yang memiliki nilai, yaitu berupa usaha untuk mempertajam hati nurani melalui penanaman nilai-nilai moral agama sehingga terbangun pemikiran dan konseptual yang mendapatkan pembenaran dari Al-Qur’an. Ketiga, generasi muda yang memiliki keberanian dalam melakukan aktualisasi program, misalnya dalam melakukan advokasi terhadap permasalahan masyarakat dan keberpihakan dalam pemberdayaan umat.
Generasi muda secara agamis dan berbudaya dalam arti luas dapat dipandang sebagai proses pengembangan potensi diri manusia yang telah ada secara alami. Potensi diri yang dimaksud adalah kemampuan intelejensia, emosional, spiritual, dan aksional. Usaha peningkatan potensi diri tersebut diupayakan agar mencapai kemampuan yang dikehendaki sampai derajat tertentu. Pada masyarakat Sunda, seseorang bisa dikatakan memiliki potensi diri berdasarkan derajat yang diharapkan jika memenuhi adeg-adeg manusia Sunda sebagai berikut:
Luhung elmuna yaitu generasi muda yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dan memiliki daya saing tinggi;
Pengkuh agamana yaitu generasi muda yang memiliki keimanan dan ketakwaan (imtak);
Jembar budayana yaitu generasi muda yang “tidak gagap budaya”, tidak kehilangan jati diri, dan memegang teguh prinsip pribadinya;
Rancage gawena yaitu generasi muda yang berprestasi, berprilaku aktif, mampu mengimplementasikan berbagai program kerja dengan baik, ngigelan jeung ngigel­keun jaman. Untuk mencapai derajat tersebut, para sesepuh masyarakat Sunda memiliki cara pendidikan yang mengacu pada kebiasaan para orangtua dahulu dengan metode 5 (lima) S yaitu:
Silib yaitu sesuatu yang dikatakan secara tidak langsung tetapi dikias­kan pada hal lain;
Sindir yaitu sesuatu yang dikatakan secara tidak langsung tetapi menggunakan susunan kalimat yang berbeda;
Simbul yaitu menyampaikan sesuatu maksud dalam bentuk lambang;
Siloka yaitu menyampaikan sesuatu maksud dalam bentuk pengandaian;
Sasmita yaitu pemaknaan yang berkaitan dengan perasaan hati.
Berdasarkan metode tersebut, wujud sosok generasi muda Sunda akan tercapai dalam diri yang ditandai oleh sifat-sifat unggul yaitu:
Cageur yaitu generasi muda yang sehat fisik dan psikhisnya;
Bageur yaitu generasi muda yang hidupnya selalu taat hukum, baik hukum agama, hukum positif, maupun hukum adat;
Bener yaitu generasi muda yang jelas tujuan hidupnya, beriman dan bertakwa, memiliki visi dan misi yang baik dan terukur;
Pinter yaitu generasi muda yang berilmu, berprestasi, arif, bijaksana, serta mampu mengatasi berbagai masalah dengan baik dan benar;
Singer yaitu generasi muda yang proaktif, beretos kerja tinggi, terampil dan berpres­tasi;
Teger yaitu generasi muda yang kuat hati, teguh, tangguh, dan tidak mudah putus asa;
Pangger yaitu generasi muda yang teguh dan berpendirian kuat, tidak mudah tergoda;
Beleger yaitu generasi muda yang jujur, adil, amanah, mampu memegang kepercayaan yang diterima dirinya.

Manusia yang demikian pada dasarnya adalah manusia yang mengemban kewajiban moral dalam kehidupannya sehari-hari. Bentuk kewajiban moral yang ada pada insan nonoman sunda meliputi:
·         MMT: Moral Manusia terhadap Tuhannya, ditandai oleh kualitas imtak, berupa pengembangan sebagai generasi yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, beriman kepada-Nya, mengajarkan ajaran-ajaran-Nya dalam segala aspek kehidupan;
·         MMP: Moral Manusia terhadap Pribadinya, ditandai oleh kualitas sumber daya manusia/ilmu pengetahuan dan teknologi (SDM/Iptek), berupa dorongan untuk memelihara dirinya, dorongan untuk melindungi dirinya, dan dorongan untuk mengungkapkan dirinya;
·         MMM: Moral Manusia terhadap Manusia lainnya, ditandai oleh kemampuan bersosialisasi, hablum minannas;
·         MMA: Moral Manusia terhadap Alam, ditandai oleh kesadaran terhadap ekologi dan lingkungannya, pengembangan sebagai insan sosial ekonomi, dan orientasi terhadap masa depan untuk menumbuhkan kepekaan terhadap situasi masa kini dalam kaitan dan hubungannya dengan masa depan;
·         MMW: Moral Manusia terhadap Waktu, ditandai oleh kesadaran terhadap waktu, hidupnya akan memiliki visi, misi, dan strategi. Empat kesadaran terhadap waktu tersebut adalah:
a.       Waktu mendapat nikmat dan kebahagiaan; mampu bersyukur;
b.      Waktu mendapat ujian dan penderitaan; ridha, tabah, dan sabar.
c.       Waktu dalam ketaatan, ditandai oleh sikap istiqamah
d.      Waktu terjerumus bermaksiat, mampu sadar, bertaubat, dan menyesali perbuatannya.
·         MMLB: Moral Manusia Lahir Batin, ditandai oleh kesadaran beretika, tahu batas, mempunyai rasa malu, adil, jujur, amanah, dan selalu berhati-hati.


C.      Generasi Muda yang Nasionalis

Generasi muda seringkali dihadapkan pada penyatuan sikap dan perilakunya dalam jargon yang bernama “Nasionalisme”. Nasionalisme sebagai ideologi dapat dilihat sebagai sebuah kesadaran nasional.
Menurut Frans Magnis Suseno, ideologi dimaksud sebagai keseluruhan sistem berfikir, nilai-nilai dan sikap dasar rohaniah sebuah gerakan, kelompok sosial atau individu. Ideologi dapat dimengerti sebagai suatu sistem penjelasan tentang eksistensi suatu kelompok sosial, sejarahnya dan proyeksinya ke masa depan serta merasionalisasikan suatu bentuk hubungan kekuasaaan. Dengan demikian, ideologi memiliki fungsi mempolakan, mengkonsolidasikan dan menciptakan arti dalam tindakan masyarakat. Ideologi yang dianutlah yang pada akhirnya akan sangat menentukan bagaimana generasi muda memandang sebuah persoalan dan harus berbuat apa untuk mensikapi persoalan tersebut.
Istilah ideologi adalah istilah yang seringkali dipergunakan terutama dalam ilmu-ilmu sosial, akan tetapi juga istilah yang sangat tidak jelas. Banyak para ahli yang melihat ketidakjelasan ini berawal dari rumitnya konsep ideologi itu sendiri. Ideologi dalam pengertian yang paling umum dan paling dangkal biasanya diartikan sebagai istilah mengenai sistem nilai, ide, moralitas, interpretasi dunia dan lainnya.
Menurut Antonio Gramsci, ideologi lebih dari sekedar sistem ide. Bagi Gramsci, ideologi secara historis memiliki keabsahan yang bersifat psikologis. Artinya ideologi ‘mengatur’ manusia dan memberikan tempat bagi manusia untuk bergerak, mendapatkan kesadaran akan posisi mereka, perjuangan mereka dan sebagainya.
Secara sederhana, Franz Magnis Suseno mengemukakan tiga kategorisasi ideologi. Pertama, ideologi dalam arti penuh atau disebut juga ideologi tertutup. Ideologi dalam arti penuh berisi teori tentang hakekat realitas seluruhnya, yaitu merupakan sebuah teori metafisika. Kemudian selanjutnya berisi teori tentang makna sejarah yang memuat tujuan dan norma-norma politik sosial tentang bagaimana suatu masyarakat harus di tata.
Ideologi dalam arti penuh melegitimasi monopoli elit penguasa di atas masyarakat, isinya tidak boleh dipertanyakan lagi, bersifat dogmatis dan apriori dalam arti ideologi itu tidak dapat dikembangkan berdasarkan pengalaman. Salah satu ciri khas ideologi semacam ini adalah klaim atas kebenaran yang tidak boleh diragukan dengan hak menuntut adanya ketaatan mutlak tanpa reserve. Dalam kaitan ini Franz Magnis-Suseno mencontohkan ideologi Marxisme-Leninisme.
Kedua, ideologi dalam arti terbuka. Artinya ideologi yang menyuguhkan kerangka orientasi dasar, sedangkan dalam operasional keseharianya akan selalu berkembang disesuaikan dengan norma, prinsip moral dan cita-cita masyarakat. Operasionalisasi dalam praktek kehidupan masyarakat tidak dapat ditentukan secara apriori melainkan harus disepakati secara demokratis sebagai bentuk cita-cita bersama. Dengan demikian, ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak totaliter dan tidak dapat dipakai untuk melegitimasi kekuasaan sekelompok orang.
Ketiga, Ideologi dalam arti implisit atau tersirat. Ideologi semacam ini ditemukan dalam keyakinan-keyakinan masyarakat tradisional tentang hakekat realitas dan bagaimana manusia harus hidup didalamnya. Meskipun keyakinan itu hanya implisit saja, tidak dirumuskan dan tidak diajarkan namun cita-cita dan keyakinan itu sering berdimensi ideologis, karena mendukung tatanan sosial yang ada dan melegitimasi struktur non demokratis tertentu seperti kekuasaan suatu kelas sosial terhadap kelas sosial yang lain.
Dari beberapa fungsi tersebut, terlihat bahwa pengaruh ideologi terhadap sikap dan nasionalisme generasi muda sangat berkaitan erat. Memahami format sosial politik suatu generasi muda akan sulit dilakukan tanpa lebih dahulu memahami ideologi yang ada dalam generasi muda tersebut. Dari sinilah terlihat betapa ideologi merupakan perangkat mendasar dan merupakan salah satu unsur yang akan mewarnai aktivitas sosial dan politik setiap generasi muda.
Tanda pertama pertumbuhan nasionalisme sebagai sebuah ideologi sudah bisa dijejaki pada era Renaissance (tepat ketika terjadi pembakaran reformator agama Jan Hus di Konsili Konstanz, terjadi pula perang Hussit di Bohemia dan Moravia yang menajamkan kesadaran nasional orang Ceko; reformasi Martin Luther dan nada anti-Roma serta terjemahan Kitab Suci dalam bahasa Jerman telah menumbuhkan kesadaran orang-orang Jerman sebagai orang Jerman).
Nasionalisme dalam arti yang sesungguhnya telah ada sejak pasca revolusi Perancis. Dalam paham Jean Jacques Rousseau tentang kedaulatan rakyat, dia mengetengahkan paham tentang ”bangsa”. Pada era romantik (1700 – 1800an) konsep kebangsaan dilihat sebagai sumber masyarakat, (Adams, 2004).
Sejak abad ke-19, nasionalisme telah menjadi motivasi dan sikap politik bangsa di Eropa. Pada awal abad 20, paham nasionalisme berpuncak pada Perang Dunia I dengan mewujudkan peta geo-politik Eropa sampai sekarang, aliansi Jerman-Italia, pembebasan Yunani-Bulgaria-Serbia dari Turki serta kemerdekaan di beberapa negara bagian Slavia dari imperialisme Austria, Turki, Rusia dan Jerman. Pada permulaan abad ke 20, gelombang nasionalisme terasa di wilayah dunia ketiga. Nasionalisme menjadi senjata moral ampuh untuk melegitimasi perjuangan kemerdekaan.
Secara umum, peran nyata para generasi muda terdiri dari 5 gelombang nasionalisme di Indonesia, yang berulang hampir 20 tahun sekali yang dapat kita lihat dari perjalanan sejarah nasional; sejak kebangkitan nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, kemerdekaan 1945, bangkitnya orde baru 1966, dan bangkitnya orde reformasi 1998. Kapan dan apa visi & misi pemuda dalam nasionalisme pada masa sekarang dan yang akan datang?.
Generasi muda atau pemuda adalah penentu perjalanan bangsa di masa berikutnya. Generasi muda mempunyai kelebihan dalam pemikiran ilmiah, selain semangat mudanya, sifat kritisnya, kematangan logikanya dan ‘kebersihan’-nya dari noda orde masanya. Generasi muda adalah motor penggerak utama perubahan. Generasi muda diakui perannya sebagai kekuatan pendobrak kebekuan dan kejumudan masyarakat.
Nasionalisme merupakan sikap dan tingkah laku individu atau masyarakat yang merujuk pada loyalitas dan pengabdian terhadap bangsa dan negaranya. Namun, secara empiris, nasionalisme tidak sesederhana definisi itu. Nasionalisme tidak seperti bangunan statis, tetapi selalu dialektis dan interpretatif, sebab nasionalisme bukan pembawaan manusia sejak lahir, melainkan sebagai hasil peradaban manusia dalam menjawab tantangan hidupnya. Terbukti dalam sejarah Indonesia, kebangkitan rasa nasionalisme didaur ulang kembali oleh para generasi muda, karena mereka merasa ada yang menyimpang dari perjalanan nasionalisme bangsanya.
Sejumlah pakar menilai prinsip nasionalisme dalam diri generasi muda Indonesia umumnya telah mengalami degradasi lantaran terus menerus tergerus oleh nilai-nilai dari luar. Jika kondisi dilematis itu tetap dibiarkan, bukan tidak mustahil degradasi nasionalisme akan mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Degradasi nasionalisme dalam diri generasi muda Indonesia muncul karena kegagalan dalam merevitalisasi dan mendefinisikan pemahaman nasionalisme. Generasi muda Indonesia umumnya belum sadar akan ancaman arus global yang terus menerus menggerogoti identitas bangsa.
Degradasi nasionalisme dalam diri generasi muda Indonesia kondisinya semakin parah karena belum adanya pembaharuan atas pemahaman dan prinsip nasionalisme dalam diri generasi muda. Kegagalan meredefinisi nilai-nilai nasionalisme telah menyebabkan hingga kini belum lahir sosok generasi muda Indonesia yang dapat menjadi teladan. Akibatnya peran orang tua masih sangat mendominasi segala sektor kehidupan berbangsa dan bernegara.
Runtuhnya nasionalisme tidak terlepas dari ekspansi tanpa henti dari pengaruh globalisasi. Saat ini, generasi muda Indonesia seperti kehilangan akar yang kuat sebagai bagian daru elemen bangsa. “Westernisasi terus menggerus nasionalisme, generasi muda lebih menikmati hiburan-hiburan berbudaya barat seperti clubbing sebagai salah satu budaya hedonis daripada berdiskusi mengenai nasionalisme. Perilaku kebarat-baratan itu sudah semakin parah menjangkiti generasi muda, terutama di kota-kota besar. Tergerusnya akar tradisi sebagai bangsa Indonesia akibat ekspansi globalisasi bisa menjadi ancaman besar bagi eksistensi NKRI.
Sebelum membahas nasionalisme generasi muda kontemporer, perlu dipaparkan terlebih dahulu peran generasi muda nasionalis dalam perubahan-perubahan besar yang terjadi pada Bangsa Indonesia.
Pertama, Generasi muda Dalam Nasionalisme Gelombang Pertama: Kebangkitan Nasional 1908. Gerakan kebangkitan nasionalisme Indonesia diawali oleh Boedi Oetomo di tahun 1908, dengan dimotori oleh para mahasiswa kedokteran Stovia, sekolah anak para priyayi Jawa, di sekolah yang disediakan Belanda di Djakarta. Para mahasiswa kedokteran di Stovia, merasa muak dengan para penjajah, --walaupun mereka sekolah di sekolah penjajah— dengan membuat organisasi yang memberi pelayanan kesehatan kepada rakyat yang menderita.
Kedua, Generasi muda Dalam Nasionalisme Gelombang Kedua: Soempah Pemoeda 1928. Setetah Perang Dunia I, filsafat nasionalisme abad pertengahan, mulai merambat ke negara-negara jajahan melalui para mahasiswa negara jajahan yang belajar ke negara penjajah. Filsafat nasionalisme itu banyak mempengaruhi kalangan terpelajar Indonesia, misalnya, Soepomo ketika merumuskan konsep negara integralistik banyak menyerap pemikiran Hegel. Bahkan, Soepomo terang-terangan mengutip beberapa pemikiran Hegel tentang prinsip persatuan antara pimpinan dan rakyat dan persatuan dalam negara seluruhnya. Dalam perkembangannya kemudian banyak diciptakan lagu-lagu kebangsaan yang sarat dengan muatan semangat nasionalisme seperti Indonesia Raya, Dari Sabang Sampai Merauke, Padamu Negeri, dan sebagainya.
Selain Soepomo, Hatta, Sutan Syahrir pun sudah aktif berdiskusi tentang masa depan negaranya, ketika mereka masih belajar di benua Eropa, atas beasiswa politic-etis balas budi-nya penjajah Belanda. Mereka inilah di masa pra & pascakemerdekaan yang nantinya banyak aktif berkiprah menentukan arah biduk kapal Indonesia. Di dalam negeri, Soekarno sejak remaja, masa mahasiswa, bahkan setelah lulus kuliah, terus aktif menyuarakan tuntutan kemerdekaan bagi negerinya, lewat organisasi-organisasi yang tumbuh di awal abad 20.
Kesadaran untuk menyatukan negara, bangsa dan bahasa ke dalam 1 negara, bangsa dan bahasa Indonesia, telah disadari oleh para generasi muda yang sudah mulai terkotak-kotak dengan organisasi kedaerahan seperti Jong Java, Jong Celebes, Jong Sumatera dan sebagainya, kemudian diwujudkan secara nyata dengan menggelorakan Sumpah Pemoeda di tahun 1928.
Ketiga, Generasi muda Dalam Nasionalisme Gelombang Ketiga: Kemerdekaan 1945
Pada nasionalisme gelombang ketiga ini, peran nyata para generasi muda yang menyandra Soekarno-Hatta ke Rengas-Dengklok agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, dapat kita baca dari buku-buku sejarah.
Keempat, Generasi muda Dalam Nasionalisme Gelombang Keempat: Lahirnya Orde Baru 1966. Pada tahun 1966 terjadi pemberontakan G30S/PKI, mahasiswa dan organisasi kepemudaan serta organisasi sosial kemasyarakatan di tahun 1966 memiliki pengaruh yang besar dalam menjatuhkan rezim Orde Lama dimana Soeharto dan para tentara tidak mungkin bisa ‘merebut’ kekuasaan dari penguasa orde-lama Soekarno. Namun pada akhir tahun 1970-an para generasi muda khsususnya mahasiswa dibatasi geraknya dalam berpolitik dan dikungkung ke dalam ruang-ruang kuliah di kampus. Sebaliknya para tentara diguritakan ke dalam tatatan masyarakat sipil lewat dwifungsi ABRI.
Kelima, Generasi muda Dalam Nasionalisme Gelombang Kelima: Lahirnya Orde Reformasi 1998. Rezim Orba yang berkuasa selama 32 tahun berakhir kekuasaanya akibat krisis ekonomi tahun 1997, yang kemudian ditindaklanjuti oleh gerakan mahasiswa dalam meruntuhkan kekuasaan otoriter Orba. Gelombang krisisi ekonomi yang melanda Asia Tenggara, dimanfaatkan dengan baik oleh para mahasiswa dan generasi muda, yang sudah termarjinalkan oleh dwi fungsi ABRI. Para generasi muda dan utamanya adalah mahasiswa berhasil menjatuhkan Soeharto dari kursinya.
Pada orde reformasi sekarang ini, para generasi muda dan mahasiwa perlu mempersiapkan diri sebaik-baiknya dalam membangkitkan kembali nasionalisme gelombang berikutnya! Nasionalisme yang perlu diwujudkan di gelombang berikutnya adalah bukan nasionalisme di gelombang-gelombang sebelumnya. Kita harus memilih nasionalisme yang humanis dan dapat menjadi rekan sejawat demokrasi. Tentu saja dalam konteks ini gagasan nasionalisme gelombang berikutnya ini tidak dapat dibebankan pada pundak pejabat negara, perwira militer, atau kalangan intelektual saja, tetapi juga perlu mendengar dan merekam suara masyarakat akar rumput yang selama ini tidak tersuarakan.
Melihat persoalan tersebut, perlu adanya redefinisi atas pemahaman dan pelaksanaan nilai-nilai nasionalisme dalam diri generasi muda Indonesia. Tantangan generasi muda saat ini berbeda dengan era tahun pada gelombang-gelombang momentum kepemudaaan sebelumnya. Jika dulu nasionalisme generasi muda diarahkan untuk melawan penjajahan, kini nasionalisme diposisikan secara proporsional dalam menyikapi kepentingan pasar yang diusung kepentingan global, dan nasionalisme yang diusung untuk kepentingan negara.
 Generasi muda dituntut mencermati kondisi kekinian, kita tidak boleh antipati dengan pasar. Namun generasi muda dituntut tetap nasionalis demi kepentingan bangsa. Nasionalisme kebangsaan tidak terlepas dari situasi global. Generasi muda Indonesia harus mencermati secara kritis realitas kepentingan global terhadap Indonesia. Disamping itu, pemerintah pusat dapat mempercepat distribusi pembangunan di semua daerah agar tidak tumbuh semangat etnonasionalisme dalam diri generasi muda.
Degradasi nasionalisme dapat dijawab melalui strategi kebudayaan dari pelbagai etnis dan suku sebagai landasan dalam melakukan modernisasi ala Indonesia. Generasi muda di semua daerah dituntut agar tidak mengedepankan kepentingan yang bersifat kedaerahan dengan begitu kesejahteraan dapat diciptakan secara bersama-sama. Hal tersebut meruapakan adalah tugas dan tanggung jawab generasi muda saat ini yaitu penciptaan kesejahteraan dan keadilan yang diperjuangkan secara bersama-sama.
Sebagai penutup, tanda bahwa dalam upaya membangun Generasi Muda yang Progresif, Agamis dan Nasionalis dikatakan berhasil dapat dilihat dari indikator-indikator berikut, yaitu:
Meningkatnya partisipasi generasi muda dalam lembaga sosial kemasyarakatan dan organisasi kepemudaan;
Terbentuknya peraturan perundang-undangan yang mengatur dan menjamin kebebasan generasi muda untuk mengorganisasikan dirinya secara bertanggungjawab, Meningkatnya jumlah wirausahawan muda, Meningkatnya jumlah karya: kreasi, karsa, dan apresiasi generasi muda di berbagai bidang pembangunan, Menurunnya jumlah kasus dan penyalahgunaan Narkoba oleh generasi muda serta meningkatnya peran dan partisipasi generasi muda dalam pencegahan dan penanggulangan Narkoba, Menurunnya angka kriminalitas yang dilakukan generasi muda.





BAB  III
PENUTUP

A.                Kesimpulan




B.                 Saran




















Daftar pustaka

Adams, Ian. 2004. Ideologi Politik Mutakhir: Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depannya. Terjemahan: Ali Noerzaman. Yogyakarta: CV. Qalam.
Azra, Azyumardi, 2000. Islam Subtantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih. Bandung: Mizan.
Simon, Roger. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Jakarta: PT. Gramedia.
Suseno, Franz Magnis. 1991. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius.
Buku Penyempurnaan Pola Dasar Pembinaan Generasi Muda di Jawa Barat, 2005.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar